Jakarta, deteksipos.com –Ada fenomena politik cukup menonjol pada sepuluh tahun terakhir ini. Yaitu munculnya framing media sosial lewat akademisi, buzzer dan influencer untuk mendegradasi dan menghabisi etnis Arab di Indonesia. Para buzzer itu menstigma etnis Arab radikal dengan cemooh yang sangat merendahkan: Kadal Gurun (Kadrun).
Awalnya mereka membidik kelompok etnis Arab yang berseberangan dengan pemerintah. Antara lain, Habib Rizieq Shihab, disamping tokoh etnis Arab lain yang radikal. Tapi kemudian melebar. Mereka menggebyah uyah. Menggeneralisasi. Menganggap semua etnis Arab radikal dan kadrun.
Apakah Rizieq Shihab radikal? Tergantung Anda menilai. Tapi pidato-pidatonya cenderung kasar dan tidak menunjukkan akhlaqul karimah. Masih segar dalam ingatan ketika Rizieq Shihab menghina Gus Dur. Ia mengatakan Gus Dur tidak hanya buta matanya tapi juga buta hatinya.
Rizieq Shihab yang waktu itu memproklamirkan sebagai ketua Front Pembela Islam (FPI) bahkan menantang Gus Dur secara fisik. Padahal Gus Dur anti kekerasan.
“Jangankan hanya satu Gus Dur, sejuta Gus Dur saya tak takut,” kata Rizieq Shihab.
Rizieq Shihab dan pengurus FPI bahkan mendemo Gus Dur ke Istana Presiden. Mereka membawa pedang tajam dan mengkilat. Lucunya, para pengikutnya sekarang mengatakan itu hanya pedang-pedangan, bukan pedang beneran. Mereka lupa bahwa setiap peristiwa kini bisa dibuka kembali lewat dokumen media massa dan bahkan lewat jejak digital.
Ketika Rizieq dan FPI menyerang Gus Dur secara bertubi-tubi, ada beberapa Banser yang ingin membuat perhitungan dengan FPI, terutama Rizieq Shihab. Ia berniat membalas kesadisan Rizieq Shihab terhadap Gus Dur, termasuk secara fisik. Minimal meeka akan demo Rizieq Shihab.
Apa respon Gus Dur? “Gak usah. Saya melihat teman-teman Banser bisa makan saja, saya sudah senang,” kata Gus Dur sembari terkekeh.
Diakui atau tidak, memang
Diakui atau tidak, memang ada tokoh etnis Arab yang radikal. Tapi tak bisa digeneralisasi. Faktanya, banyak tokoh etnis Arab yang moderat bahkan anti radikalisme. Contohnya Prof Dr Quraish Shihab, Alwi Shihab dan banyak tokoh etnis Arab lain yang moderat. Saking moderatnya sampai mereka dituduh liberal, Syiah dan tuduhan lain.
Karena itu para buzzer – termasuk sebagian akademisinya – tak bisa menggebyah uyah, menggeneralisisasi bahwa semua etnis Arab adalah radikal dan kadrun.
Tapi faktanya para buzzer sengaja menggenralisasi etnis Arab. Lihat saja celoteh mereka di medsos. Mereka minta semua orang Arab diusir dari bumi Indonesia.
Ironisnya, di tengah gencarnya mereka menyerang etnis Arab, ternyata para buzzer itu justru membela dan menyanjung etnis Tionghoa dengan alasan toleransi, moderat, dan plural atau menghargai keberagaman. Mereka tak sadar bahwa apa yang mereka lakukan adalah radikalisme dan ekstremisme yang sangat sadis.
Karena itu tak aneh jika Tsamara Amany Alatas, tokoh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang kini keluar mencap mereka rasis.
Seperti dilansir bangsaonline.com, fasisme adalah paham yang menganut dokrin kepemimpinan absolut tanpa toleransi. Jadi mereka otoriter dan penuh penyeragaman tanpa toleransi. Mereka cenderung memanfaatkan milter untuk menghancurkan musuh politiknya.
Celakanya, fasisme beranggapan musuh berada di mana-mana, termasuk dalam organisasinya sendiri. Bahkan teman seperjuangannya. Karena itu mereka harus diserang dan dihancurkan.
Jadi fasisme itu sejatinya tak punya nurani dan anti kemanusiaan. Salah satu tokoh fasis yang populer adalah Adolf Hitler. Yang membunuh 6 juta manusia tanpa sedikit pun rasa iba.
Kini, para buzzer dan influenzer itu sedang menjalankan misi fasisme, menghabisi etnis Arab di Indonesia.
Alhasil – ini yang perlu kita tegaskan – bahwa para buzzer dan influencer itu bukan bagian dari kelompok moderat, nasionalis, plural, NKRI, dan Pancasilais. Tapi bagian dari kelompok fasis yang sedang menjelma di Indonesia.
Kenapa? Kita cermati saja definisi moderat. Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa moderat adalah sikap obyektif, tengah (ausath) dan tentu saja adil. Ciri utama moderat adalah wawasan luas, terbuka, anti kekerasan, rendah hati (humble), rasional, dan yang paling penting lagi berakhlaqul karimah serta penuh manfaat bagi orang lain.
Di luar ciri-ciri tersebut jangan sekali-kali mengklaim sebagai moderat. Giring Ganesha, Ade Armando, Deny Siregar dan Habib Rizieq Shihab, bukanlah tipe orang moderat karena mereka sering berkata-kata kasar dan tidak obyektif.
Tokoh moderat di Indonesia adalah Gus Dur. Putra KH A Wahid Hasyim dan ketua umum PBNU tiga periode itu sangat mencintai dan menghargai Habaib tapi juga menyayangi etnis Tionghoa. Gus Dur inilah yang paling getol mengajak warga NU untuk mencintai para Habib. Namun juga sangat getol membela para etnis Tionghoa.
Maka kontras sekali dengan KH Yahya Staquf (kini ketua umum PBNU) yang pada Muktamar NU ke-34 di Lampung mengklaim akan “Menghidupkan Gus Dur” tapi dalam videonya di you tube mengatakan bahwa etnis Arab adalah pengungsi.
GRAND DESIGN POLITIK
Fenomena menghabisi etnis Arab ini memang menarik. Padahal dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia -terutama dalam sejarah kemerdekaan RI – banyak tokoh etnis Arab yang berjasa pada bangsa dan negara Indonesia.
Dalam sejarah Indonesia kita menemukan banyak sekali tokoh etnis Arab yang menjadi pejuang kemerdekaan RI. Bahkan banyak diantara mereka sudah dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Antara lain: Abdurrahman az-Zahir (pemimpin Perang Aceh), Abdurrahman Baswedan (pahlawan nasional, pejuang Kemerdekaan, pendiri Persatuan Arab Indonesia)
Lalu juga Ageng Tirtayasa dari Banten, pahlawan nasional, Sultan Banten ke-6, Fatahillah, panglima perang Kesultanan Demak, Hamid Algadri, perintis kemerdekaan, Husein Mutahar, pejuang kemerdekaan, pendiri Paskibraka, Mahfudh Abdurrahman Al-Hasani, pejuang, pimpinan Angkatan Umat Islam, Mahmud Badaruddin II, pahlawan nasional, Sultan Palembang ke-18, dan Mahmud Syah III dari Johor, pahlawan nasional, Sultan Johor ke-15.
Juga ada Muhammad Syahbuddin Shahab, pejuang kemerdekaan, Nuku Muhammad Amiruddin, pejuang, pahlawan nasional, Radin Inten II, pahlawan nasional, pejuang dan masih banyak lagi.
Bahkan negara-negara Arab adalah negara paling awal mengakui kemerdekaan RI sehingga menjadi legitimasi kuat secara internasional. Antara lain Yaman, Suriah, Mesir, Arab Saudi, bahkan Libanon yang saat itu dekat dengan Barat juga mengakui kemerdekaaan Indonesia.
Lalu bagaimana dengan etnis China. Tentu ada yang berjuang untuk Indonesia. Tapi tak sebanyak etnis Arab.
Yang memilukan banyak etnis Cina yang diduga terlibat pengkhianatan terhadap bangsa Indonesia, meski kemudian mereka yang paling banyak menikmati ekonomi Indonesia.
Sejarah Indonesia mencatat tentang Pao An Tui. Yaitu pasukan pertahanan diri komunitas Tionghoa Indonesia saat Revolusi Indonesia (1945-1950). Pao An Tui populer sebagai pembela penjajah yang berperang melawan bangsa Indonesia.
Sejarah juga mencatat bahwa yang menjadi ketua Pao An Tui adalah Loa Sek Hie. Sedangkan Oey Kim Sen sebagai Wakil Ketua, Khouw Joe Tjan sebagai Sekretaris dan Cong Fai-Kim tercatat sebagai Bendahara.
Markas Pao An Tui ada di Batavia, Hindia Belanda. Sementara wilayah operasinya sebagian di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.
Pao An Tui)
Dalam berbagai literatur sejarah mereka disebut sebagai pengkhianat bangsa Indonesia. Namun belakangan mulai ada upaya untuk merevisi dengan berbagai alasan untuk menutupi sejarah kelam etnis Tioghoa di Indonesia.
Bahkan sastrawan kondang Pramoedya Ananta Toer dalam karya-karyanya banyak menggambarkan etnis Tionghoa sebagai kelompok pragmatis yang mengabaikan moral. Dalam bukunya berjudul Bumi Manusia, Pramoedya menggambarkan etnis Tionghoa sebagai agen prostitusi yang merusak moral masyarakat, termasuk kalangan ningrat dan perjuang bangsa Indonesia.
Atau cermati saja kasus Yogyakarta. Hingga sekarang etnis Tionghoadi Yogya dilarang memiliki hak milik tanah. Ini bukan karena diskriminasi tapi karena latar belakang sejarah etnis Tionghoa sendiri yang buruk.
Pakar Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr Suhartono menuturkan ada faktor historis tentang larangan WNI nonpribumi memiliki tanah di Yogyakarta.
Menurut dia, dalam kacamata sejarah, dendam itu dilatarbelakangi oleh sikap kalangan Tionghoa yang terkesan mengeksploitasi kalangan pribumi pada masa kolonial Hindia Belanda. Selain itu, adanya aktivitas menjual candu diyakini turut menjadi salah penyebab.
“Sehingga dulu pada tahun 1905 itu ada amuk China di sini, di Yogya. Karena itu orang China dilarang ke desa-desa, sebab ke desa itu operasionalnya (kalangan Tionghoa) untuk ngedol (menjual) candu,” kata Suhartono dikutip detik.com edisi Sabtu, 23 Nopember 2019.
Menurut Suhartono, kalangan Tionghoa terkesan dilindungi politik kolonial. Atas dukungan itu akhirnya mereka berhasil tampil sebagai salah satu ekonomi terkuat, kondisi sebaliknya dialami kalangan pribumi.
“Ada dasar historisnya itu hingga ada aturan tersebut,” ungkap penulis buku ‘Apanage dan Bekel, Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta, 1830-1920’ itu.
Menurut Suhartono, kendati ditandatangani Paku Alam VIII, namun pada dasarnya larangan tersebut keluar karena titah Gubernur DIY sekaligus Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat masa itu, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX.
Tampaknya tren menghabisi etnis Arab dan membela etnis Tionghoa merupakan grand design politik nasional dan internasional. Mereka ingin membumihanguskan etnis Arab dengan berbagai cara. Padahal etnis Arab bukan hanya berjasa pada bangsa Indonesia – karena banyak pahlawan Indonesia terdiri dari etnis Arab – tapi juga sangat berjasa bagi Islam.
Apakah mereka juga punya target untuk menghabisi umat Islam? Wallahua’lam bishhawab. Tapi apapun agenda politik mereka kita harus obyektif dan adil. Bahwa kita tak bisa menghabisi etnis Arab dan juga tak bisa menghabisi etnis Tionghoa.
Sikap Gus Dur harus menjadi teladan bagi kita semua. Yaitu mencintai para habaib dan juga menyarangi etnis Tionghoa. Kita tak menoleransi sikap rasis yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. (bangsaonline)