Cassandra Angelie (Foto : Istimewa)
Jakarta, Deteksi Pos – Pasal ini menjadi andalan penegak hukum untuk menjerat prostitusi online, termasuk kasus terbaru yang menjerat Cassandra Angelie. Pasal inilah yang menjelaskan kenapa Cassandra Angelie bisa menjadi tersangka kasus prostitusi. Berikut adalah pasalnya.
Cassandra Angelie dan tiga orang lain telah ditangkap polisi. Tiga orang lain tersebut bertindak sebagai muncikari. Namun Cassandra bukan muncikari, melainkan “model dan artis yang dapat melakukan hubungan layaknya suami-istri dengan bayaran tertentu”, demikian istilah yang disematkan Polda Metro Jaya untuk Cassandra.
Berikut adalah pasal-pasal yang disangkakan Polda Metro Jaya terhadap para tersangka, termasuk Cassandra.
UU ITE Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU ITE
Pasal 27
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Pasal 45
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (l) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
UU Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2017 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pasal 2
(1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
KUHP Pasal 506 dan 296 KUHP
Pasal 296
Barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak seribu rupiah.
Pasal 506
Barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikan sebagai pencarian, diancam dengan kurungan paling lama satu tahun.
Pasal andalan
Pasal andalan penegak hukum untuk menindak prostitusi online adalah Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Pasal itu dulu juga digunakan untuk menjerat artis-artis lainnya dalam kasus yang sama, meski tak ada istilah ‘prostitusi online’ atau ‘prostitusi’ dalam pasal itu. Pasal itu mengatur soal penyebaran informasi elektronik bermuatan pelanggaran kesusilaan. Dalam era sekarang, informasi elektronik seperti itu simpelnya adalah ‘konten medsos’.
“Hal yang dilarang adalah kegiatan menjual diri melalui media sosial. Kalau tidak melalui media sosial, itu tidak ada pasal yang mengaturnya,” kata pakar hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar,
Seorang pekerja seks komersial (PSK) yang menyetujui fotonya (atau konten bentuk lainnya) disebarkan via media sosial untuk tujuan prostitusi, PSK tersebut bisa dijerat Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU ITE tersebut. Lalu, bagaimana bila seorang PSK itu tidak setuju fotonya diiklankan di media sosial?
“Kalau ada ketidaksetujuan, maka ketidaksetujuan itu harus dibuktikan. Kalau nggak, ya dianggap setuju,” kata Abdul Fickar Hadjar.
Prostitusi online ada pasalnya, bagaimana dengan offline?
Abdul Fickar Hadjar menjelaskan prostitusi online bisa dijerat pidana, yakni lewat UU ITE. Namun, prostitusi offline (tanpa melalui media sosial atau pertukaran informasi elektronik) tidak bisa dijerat pidana. Soalnya, Indonesia tidak punya pasal yang cocok sampai saat ini. Paling banter, pihak yang kena jerat pidana adalah muncikarinya, bukan PSK offline itu sendiri.
“Yang dilarang di dalam hukum pidana itu adalah orang yang memfasilitasi untuk melakukan hubungan seksual. Itu lebih kepada orang yang memfasilitasi. Itulah muncikari,” kata Abdul Fickar Hajar.
Muncikari bisa kena UU ITE, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta Pasal 506 dan 296 KUHP. Lantas, apakah tidak ada yang benar-benar bisa menjerat prostitusi konvensional.
Ada, namun syaratnya adalah melalui delik aduan. Suami atau istri dari orang yang terlibat prostitusi harus melapor ke polisi, bukan polisi yang bertindak sendiri. Hal itu diatur dalam ‘pasal zina’, yakni Pasal 284 KUHP.
“Kalau dua-duanya lajang (PSK dan konsumennya), maka tidak bisa dijerat pidana. Yang bisa dijerat pidana itu kalau salah satu atau dua-duanya terikat perkawinan. Syaratnya adalah ada aduan dari istri atau suaminya. Kalau tidak diadukan, ya tidak jadi perkara,” kata Abdul Fickar.
Sebelumnya, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes E Zulpan menjelaskan Cassandra Angelie (polisi menyebutnya dengan inisial CA) menjadi model/artis yang dapat melakukan hubungan layaknya suami-istri dengan bayaran tertentu. Adapun tiga orang lainnya adalah muncikari yang juga menawarkan gambar dari Cassandra Angelie kepada calon konsumen.
“Modus operandi yang digunakan para muncikari ini adalah menawarkan melalui media sosial dengan menawarkan gambar-gambar daripada Saudari CA,” kata Zulpan di Markas Polda Metro Jaya, tadi..(red/detik)